Penyakit gangguan mental atau kerap juga disebut penyakit gangguan jiwa merupakan penyakit yang pengaruhi otak dan mengganggu ekuilibrium kimiawi. Mereka yang mengalami keadaan ini dikenal bersama julukan Orang bersama dengan Gangguan Jiwa (Odgj).


Contoh penyakit gangguan mental adalah depresi, bipolar, anxiety (Kecemasan), stres pasca trauma (Ptsd), gangguan obsesif kompulsif (Ocd), skizofrenia, dan segudang kembali.


ODGJ kategori berat biasanya menderita gejala psikosis, layaknya ilusi, halusinasi, dan paranoid. Gejala psikosis yang tampak terhadap penderita gangguan mental sebabkan penderita kadang jalankan hal-hal di luar kewajaran, layaknya bicara sendiri, berteriak ketakutan, menangis, atau apalagi mengamuk yang sifatnya destruktif.


Di Indonesia, hal ini seringkali dilihat orang awam sebagai hal yang aneh dan mereka bersama ringan memberi label "Orang gila” terhadap penderita gangguan mental yang mengalami episode gejala psikosis. Tidak cuman diberi label ‘Orang gila', diasingkan jauh berasal dari orang-orang yang mereka cintai, mereka sering diperlakukan secara tak manusiawi.


Studi berasal dari pengalaman


Yang memprihatinkan, sebab kurangnya ilmu, untuk menanggulangi gangguan ini penderita gangguan mental biasanya dibawa berobat ke dukun, tabib, atau justru ke pemuka agama untuk didoakan.


Spesifik soal ini, saya miliki pengalaman pribadi. Mendiang kakak saya mengalami penyakit gangguan mental. Sepanjang hidupnya, kedua orangtua saya mengira dia anak yang "Sulit” dan selalu menyebabkan persoalan.


Uly Siregar, Blogger
Penulis: Uly Siregar


Begitu berat penyakit gangguan mental yang diderita, ia sering mengalami gejala psikosis yang membawa dampak resah kedua orangtua, dan tak sporadis memicu malu keluarga. Ketika mencapai puncaknya, tanpa ilmu yang lumayan, ia bukannya dibawa ke tempat tinggal sakit jiwa, tetapi dibawa ke semacam tempat tinggal peristirahatan bagi orang-orang mengalami luka batin yang dikelola oleh seorang rahib.


Di sana ia diberikan layanan religi dan spritual disertai obat-obatan tapi tak dijalankan diagnosa yang cermat dan mendalam oleh dokter pakar jiwa. Sampai pada akhirnya ia meninggal dikarenakan stroke, terasing di area jauh berasal dari keluarga.


Di beragam area di Indonesia, penderita gangguan mental sering mengalami nasib yang jauh lebih buruk dibandingkan mendiang kakak saya. Segudang ODGJ yang menekuni hidup bersama dengan cara dipasung.


Pasung adalah praktik merantai ODGJ dan mengurungnya di di dalam ruangan. Cara ini dilaksanakan supaya ODGJ yang dipasung bukan berkeliaran dan mengganggu. Sampai Juli 2018, menurut catatan Kementerian Kebugaran tersedia 12.382 ODGJ yang hidup didalam pemasungan. Angka itu belum terhitung bersama dengan pasung yang berlangsung di wilayah-wilayah terpencil. Belum ulang tak terhitung berjalan ODGJ yang sudah bebas pasung lagi dipasung gara-gara bukan adanya layanan pendukung.


Indonesien Galuh Rehabilitation Center Psychiatrie Patienten&Nbsp;
PRAKTIK KEJI MEMASUNG ORANG SAKIT JIWA DI INDONESIA
Penjara Jiwa
Human Rights Watch mencatat ratusan masalah, di mana pasien gangguan kejiwaan dipasung, dipenjara, mengalami kekerasan fisik dan seksual, antara lain bersama terapi kejut listrik. Foto-Foto ini dibuat oleh fotografer As, Andrea Star Reese di dalam esainya yang berjudul "Disorder" perihal potret muram perawatan pasien gangguan kejiwaan di Indonesia




1234567
Praktik pasung ini mengetahui amat bukan memanusiakan dan melanggar hak asasi manusia. Menurut catatan Human Rights Watch, pemasungan yang paling lama di Indonesia berlangsung terhadap seorang wanita yang dikurung dan dipasung selama 15 year! Kementerian Kesegaran Republik Indonesia sudah menetapkan praktik pasung di Rumah Sakit Jiwa sebagai penanganan ODGJ yang tak manusiawi, dan sempat melancarkan kampanye "Indonesia Bebas Pasung 2014”. Sayangnya, gara-gara pemahaman yang tidak cukup soal kesegaran mental, praktik pasung ini masih dapat ditemui di Indonesia.


Sikap mengasingkan ODGJ sebab tersedia cacat bahwa "Kegilaan” mereka berlangsung dikarenakan adanya berbagai pandangan buruk, misalnya tersedia keyakinan suasana itu berlangsung sebab kerasukan setan, atau sebab dosa-dosa yang dijalankan orangtuanya, atau sebab dulu lakukan tindakan amoral, atau sesederhana sebab tak punya iman yang kuat.


Sebab adanya pandangan buruk ini, keluarga yang punya ODGJ cenderung merasa malu dan berusaha untuk menyembunyikan ODGJ berasal dari hubungan bersama dengan orang lain. Bahkan bila berlangsung di keluarga yang tinggal di tempat terpencil bersama taraf pendidikan yang rendah, pasung kelanjutannya jadi solusi akhir bila dukun atau tabib tak mampu mengubah situasi.


Penyakit Serius


Penyakit gangguan mental merupakan penyakit serius yang dapat berakibat fatal bagi si penderita. Di Indonesia sendiri suasana penanganan kebugaran mental masih belum jadi isu yang teramat signifikan dibandingkan bersama dengan penyakit-penyakit yang mengancam keselamatan nyawa lainnya.


Padahal menurut information Riset Kebugaran Dasar (Riskesdas) prevalensi gangguan mental emosional bersama dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan terhadap usia 15 tahunan mencapai 14 juta orang, atau 6 prosen berasal dari jumlah rakyat Indonesia. Selagi tersebut, prevalensi gangguan jiwa berat layaknya skizofrenia tercatat 400 ribu.


Menurut Organisasi Kebugaran Global (Who), layaknya dikutip Republika (16/10/2018), angka bunuh diri di Indonesia mengalami tren peningkatan. Tahunan 2010 tercatat 1,8 per 100 ribu jiwa atau kurang lebih 5.000 per tahunan, sedangkan terhadap 2012 meningkat jadi 4,3 per 100 ribu jiwa atau kira-kira 10 ribu per year. Secara dunia, tiap tiap th lebih berasal dari 800 ribu orang meninggal implikasi bunuh diri atau satu kematian tiap-tiap 40 detik.


Untuk memahami apakah seseorang menderita penyakit gangguan mental, tentunya diperlukan konsultasi bersama dengan dokter atau ahlinya. Tetapi, tersedia sebagian faktor yang mampu mengakibatkan kami lebih awas pada bisa saja terkena gangguan jiwa. Misalnya, penyakit mental berpotensi menyerang mereka yang berusia akhir remaja sampai usia awal 20-An.


Sebenarnya gejala penyakit mental telah dapat ditemukan terhadap anak-anak usia 9 atau 10 year, tetapi gejala tersebut tertutupi bersama dengan taraf stres yang lebih kecil dibandingkan selagi menginjak usia awal dewasa. Sebagian gejala lainnya adalah perasaan murung yang berkepanjangan, cemas hiperbola, paranoid, dan berlimpah kembali. Bagi anak-anak usia remaja, gejala yang patut diperhatikan adalah adanya kesamaan untuk mengisolasi diri berasal dari pergaulan sosial.


Menghadapi ODGJ
Apa yang sanggup kami melakukan bila punya anggota keluarga Odgj? Yang terpenting tentunya berkonsultasi bersama dengan dokter pakar jiwa. Terapi dan obat-obatan mampu menunjang mutu hidup ODGJ sehingga gejala psikosis sanggup ditekan atau dihilangkan serupa sekali.


Tidak cuman tersebut tentunya bersama terima dan menghargai ODGJ sebagai manusia yang punyai situasi eksklusif supaya kadang sulit didalam berinteraksi, terutama sementara gejala psikosis menyerang.


Yang tentu, jangan segera mengasingkan ODGJ dan menganggap mereka sebagai suatu kutukan yang mesti dihindari. Cobalah jelas suasana mereka, gara-gara serupa layaknya seluruh orang, ODGJ juga membutuhkan hubungan bersama dengan sekelilingnya. Malah, barangkali lebih membutuhkan berasal dari mereka yang bukan mengalami keadaan itu.


Bantuan merupakan hal yang terlalu krusial bagi Odgj. Bila ia anggota keluarga, pelajari lebih jauh mengenai tipe gangguan mental yang ia punyai. Luangkan kala untuk mengenali gejala psikosis dan bagaimana cara menghadapinya waktu episode psikosis terjadi. Kasih sayang dan pertolongan akan menyebabkan ODGJ merasa nyaman dan menunjang di dalam proses pemulihan berasal dari gejala psikosis.


Hal tersebut juga berlaku bersama sikap kami di ruang publik. Janganlah menjadikan ODGJ sebagai olok-olokan di media sosial. Contohnya, bersama dengan membawa dampak meme-meme yang menjadikan ODGJ sebagai obyek. Atau segera nyinyir ketika kebetulan membaca di media sosial tersedia yang mengaku depresi dan miliki keinginan bunuh diri.


Meski kedengarannya layaknya dramatisasi dan bernuansa caper, dapat menjadi mereka memang memiliki penyakit gangguan mental. Sikap kami yang memojokkan berpotensi mengakibatkan mereka laksanakan tindakan yang fatal, sampai hingga titik terendah kelanjutannya mengambil jalan bunuh diri. Dan ini bukannya tak dulu berlangsung.


Penyakit gangguan mental tak terhitung mengambil korban jiwa, keliru satunya melalui jalan bunuh diri. Yang menyedihkan, segudang juga mereka yang bunuh diri melacak "Dukungan” di area yang keliru, layaknya di ruang publik yang disediakan media sosial layaknya Facebook dan Twitter. Sayangnya, konsisten berakhir tragis bersama bunuh diri.


Tidak benar satunya yang berlangsung bulan Januari lalu, pria berusia 21 tahunan berstatus mahasiswa mengakhiri hidupnya bersama menenggak arsenik di kamar kosnya di Tangerang. Sebelum bunuh diri, pria berinisial TERSEDIA ini sempat mengungkapkan curahan hatinya di Twitter. Selama sebagian hari, TERSEDIA menuliskan kesedihannya, berasal dari soal kehilangan kekasih hati sampai perasaan ditinggal oleh seluruh teman-temannya. Catatan terakhirnya adalah perihal bagaimana ia tak menghendaki jadi benalu dan merasa lebih baik untuk enyah berasal dari muka bumi.


Bagi penderita gangguan mental, kesunyian jadi teman akrab yang menyertai hidup mereka. Hidup mereka sulit untuk dipahami, lebih-lebih oleh mereka sendiri. Janganlah kami jadi hal yang menjadikan hidup mereka lebih sarat kesedihan.